Jumat, 29 Januari 2010

definisi al qur'an 2

Keharaman makanan tertentu seperti babi, ancaman terhadap
yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah,
kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban
puasa, hubungan suami-istri, dikemukakan Al-Quran secara
berurut dalam belasan ayat surat Al-Baqarah. Mengapa
demikian? Mengapa terkesan acak? Jawabannya antara lain
adalah, "Al-Quran menghendaki agar umatnya melaksanakan
ajarannya secara terpadu." Tidakkah babi lebih dianjurkan
untuk dihindari daripada keengganan menyebarluaskan ilmu.
Bersedekah tidak pula lebih penting daripada menegakkan
hukum dan keadilan. Wasiat sebelum mati dan menunaikannya
tidak kalah dari berpuasa di bulan Ramadhan. Puasa dan
ibadah lainnya tidak boleh menjadikan seseorang lupa pada
kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu adalah hubungan seks
antara suami-istri. Demikian terlihat keterpaduan
ajaran-ajarannya.

Al-Quran menempuh berbagai cara guna mengantar manusia
kepada kesempurnaan kemanusiaannya antara lain dengan
mengemukakan kisah faktual atau simbolik. Kitab Suci
Al-Quran tidak segan mengisahkan "kelemahan manusiawi,"
namun itu digambarkannya dengan kalimat indah lagi sopan
tanpa mengundang tepuk tangan, atau membangkitkan potensi
negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan
itu, atau menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi
godaan nafsu dan setan.

Ketika Qarun yang kaya raya memamerkan kekayaannya dan
merasa bahwa kekayaannya itu adalah hasil pengetahuan dan
jerih payahnya, dan setelah enggan berkali-kali mendengar
nasihat, terjadilah bencana longsor sehingga seperti bunyi
firman Allah:


"Maka Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi"
(QS Al-Qashash [28]: 81).

Dan berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan
kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan
rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-
hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau Allah tidak
melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya kita pun
dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-
orang yang kikir (QS Al-Qashash [28]: 82).

Dalam konteks menggambarkan kelemahan manusia, Al-Quran,
bahkan mengemukakan situasi, langkah konkret dan
kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang dimabuk
cinta oleh kegagahan seorang pemuda yang tinggal di
rumahnya,

Maksudnya,

"(Setelah berulang-ulang kali merayu dengan berbagai
cara terselubung). Ditutupnya semua pintu dengan amat
rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya
kepada kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari
lakukan itu!" (QS Yusuf [12]: 23).

Demikian, tetapi itu sama sekali berbeda dengan ulah
sementara seniman, yang memancing nafsu dan merangsang
berahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan
dalam diri manusia yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi
tidak juga dibuka lebar, selebar apa yang sering
dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.

Al-Quran kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf,
anak muda yang dirayu wanita itu, juga dengan tiga alasan
penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya,

Yang pertama dan kedua adalah,

"Aku berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu
adalah tuanku, yang memperlakukan aku dengan baik"
(QS Yusuf [12]: 23).

Yang ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup.

"Dan sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang
yang berlaku aniaya" (QS Yusuf [12]: 23).

Dalam bidang pendidikan, Al-Quran menuntut bersatunya kata
dengan sikap. Karena itu, keteladanan para pendidik dan
tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya.

Pada saat Al-Quran mewajibkan anak menghormati orangtuanya,
pada saat itu pula ia mewajibkan orang-tua mendidik
anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan menaati Rasul
dan para pemimpin, pada saat yang sama Rasul dan para
pemimpin diperintahkan menunaikan amanah, menyayangi yang
dipimpin sambil bermusyawarah dengan mereka.

Demikian Al-Quran menuntut keterpaduan orang-tua,
masyarakat, dan pemerintah. Tidak mungkin keberhasilan dapat
tercapai tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita berhasil
kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh satu pihak, atau
hanya ditangani oleh guru dan dosen tertentu, tanpa
melibatkan seluruh unsur kependidikan.

Dua puluh dua tahun dua bulan dan dua puluh dua hari
lamanya, ayat-ayat Al-Quran silih berganti turun, dan selama
itu pula Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya tekun
mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada
akhirnya, mereka berhasil membangun masyarakat yang di
dalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan hidayah, keadilan
dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi.

Kita dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan
berhasil? Boleh jadi jawabannya dapat kita simak dari hasil
penelitian seorang guru besar Harvard University, yang
dilakukannya pada 40 negara, untuk mengetahui faktor
kemajuan atau kemunduran negara-negara itu.

Salah satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar- adalah
materi bacaan dan sajian yang disuguhkan khususnya kepada
generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun menjelang
kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu,
para generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan
tertentu. Setelah dua puluh tahun generasi muda itu berperan
dalam berbagai aktivitas, peranan yang pada hakikatnya
diarahkan oleh kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan
itu. Demikian dampak bacaan, terlihat setelah berlalu dua
puluh tahun, sama dengan lama turunnya Al-Quran.

Kalau demikian, jangan menunggu dampak bacaan terhadap
anak-anak kita kecuali 20 tahun kemudian. Siapa pun boleh
optimis atau pesimis, tergantung dari penilaian tentang
bacaan dan sajian itu. Namun kalau melihat kegairahan
anak-anak dan remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat
mempelajari kandungannya, maka kita wajar optimis, karena
kita sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi
terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang jaya selama
sekitar delapan ratus tahun, adalah karena Al-Quran yang
mereka baca dan hayati mendorong pengembangan ilmu dan
teknologi, serta kecerahan pikiran dan kesucian hati.

Kita wajar optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani
pendidikan, serta tekadnya mencanangkan wajib belajar.

Ayat "wa tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan
saja mencanangkan "wajib belajar" tetapi juga "wajib
mengajar." Bukankah tawashauw berarti saling berpesan,
saling mengajar, sedang al-haq atau kebenaran adalah hasil
pencarian ilmu? Mencari kebaikan menghasilkan akhlak,
mencari keindahan menghasilkan seni, dan mencari kebenaran
menghasilkan ilmu. Ketiga unsur itulah yang menghasilkan
sekaligus mewarnai suatu peradaban.

Al-Quran yang sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan
antara lain:

1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari
segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan
tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian
alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu
konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan
umat manusia.

2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,
yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang
seharusnya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada
Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.

3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja
antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta,
kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan
supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan
kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan
kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik
dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu
keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.

4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama
dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara
melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan.

5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,
kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta
pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang sosial,
ekonomi, politik, dan juga agama.

6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat
dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial
sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia

7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli
kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme,
menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemunkaran.

8. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna
menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati
diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.

Demikian sebagian tujuan kehadiran Al-Quran, tujuan
yang tepadu dan menyeluruh, bukan sekadar mewajibkan
pendekatan religius yang bersifat ritual atau mistik,
yang dapat menimbulkan formalitas dan kegersangan.
Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan
membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat
dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem
hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan
pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada realitas
keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan
ketenteraman hidup pribadi dan masyarakat

Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya yang merangsang
akal dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima
dan memberi kasih dan keharuan cinta, sehingga dapat
mengarahkan kita untuk memberi sebagian dari apa yang
kita miliki untuk kepentingan dan kemaslahatan umat
manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan
kekayaan spiritual bangsa kita, dan yang telah tumbuh
subur dalam negara kita.

oleh : quraish shihab

definisi al qur'an 1

Al-Quran yang secara harfiah berarti "bacaan sempurna"
merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat,
karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis
baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi
Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.

Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta
orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat
menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf
oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.

Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang
diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat
demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya,
sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.

Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya
susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga
kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada
kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan
jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang
dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu,
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan
kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran.
Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya
yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara
membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal
atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang,
atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur
lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya.

Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Quran yang berjumlah
77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh
sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua
puluh tiga ribu lima belas) huruf yang seimbang jumlah
kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun
kata dengan lawan kata dan dampaknya.

Sebagai contoh -sekali lagi sebagai contoh- kata hayat
terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali;
akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia; malaikat
terulang 88 kali sebanyak kata setan; thuma'ninah
(ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata dhijg
(kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.

Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya
yaitu ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir sama
dengan akibatnya yaitu penyesalan masing-masing 12 kali;
zakat sama dengan berkat yakni kebajikan melimpah,
masing-masing 32 kali. Masih amat banyak keseimbangan
lainnya, seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak 365,
sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan)
terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam setahun.
Demikian

"Allah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran
dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."

Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk seperti itu? Al-Quran
menantang:

"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk
menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan
berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja
sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).

Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa: "Tidak ada
seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah
memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan
berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya,
seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)." Demikian terpadu
dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan
keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan
kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan
yang ditimbulkannya.

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia
dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

Mengapa iqra, merupakan perintah pertama yang ditujukan
kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai
membaca dan menulis)? Mengapa demikian?

Iqra' terambil dari akar kata yang berarti "menghimpun,"
sehingga tidak selalu harus diartikan "membaca teks tertulis
dengan aksara tertentu."

Dari "menghimpun" lahir aneka ragam makna, seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri
sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.

Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca? "Ma aqra'?"
tanya Nabi -dalam suatu riwayat- setelah beliau kepayahan
dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.

Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar
beliau dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut
Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.

Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah
ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman,
sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis.
Alhasil objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkaunya.

Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam cara yang
dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya.

Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan
sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh
kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya
dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi
juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan
Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan menghasilkan
pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu
juga.

Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran
baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta
kesejahteraan batin. Berulang-ulang "membaca" alam raya,
membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan serta
menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang kita baca
dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang
dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun demikian,
namun pemahaman, penemuan rahasianya, serta limpahan
kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan itulah pesan yang
dikandung dalam Iqra' wa Rabbukal akram (Bacalah dan
Tuhanmulah yang paling Pemurah). Atas kemurahan-Nyalah
kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.

Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling
berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat
manusia. "Membaca" dalam aneka maknanya adalah syarat
pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta
syarat utama membangun peradaban. Semua peradaban yang
berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab
(bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer
pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya
Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya
Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel
(1770-1831). Peradaban Islam lahir dengan kehadiran
Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena kita
yakin bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk
oleh hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya

"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang
diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami
(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang
memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).

Pengetahuan dan peradaban yang dirancang oleh Al-Quran
adalah pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan kalbu
dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran menjelaskan dua
cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.

Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum
subjek dituntut berperan guna memahami objek. Namun
pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang
memperkenalkan dirinya kepada subjek tanpa usaha sang
subjek. Komet Halley, memasuki cakrawala, hanya sejenak
setiap 76 tahun. Dalam kasus ini, walaupun para astronom
menyiapkan diri dan alat-alatnya untuk mengamati dan
mengenalnya, tetapi sesungguhnya yang lebih berperan adalah
kehadiran komet itu sendiri untuk memperkenalkan diri.

Wahyu, ilham, intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia
yang siap dan suci jiwanya atau apa yang diduga sebagai
"kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya
tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat
dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran
tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama ini.

"Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui
manusia sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena)
apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)

Sekali lagi terlihat betapa Al-Quran sejak dini memadukan
usaha dan pertolongan Allah, akal dan kalbu, pikir dan
zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia
seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti
setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi,
sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.

Al-Quran sebagai kitab terpadu, menghadapi, dan
memperlakukan peserta didiknya dengan memperhatikan
keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.

Ketika Musa a.s. menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan
beliau tenggelam dalam situasi spiritual, Allah menyentaknya
dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material:

"Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?"
(QS Thaha [20]: 17).

Musa sadar sambil menjawab,

"Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul
(daun) dengannya untuk kambingku, disamping
keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).

Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut dalam alam
material, Al-Quran menggunakan benda-benda alam, sebagai
tali penghubung untuk mengingatkan manusia akan kehadiran
Allah Swt. dan bahwa segala sesuatu yang teriadi -sekecil
apa pun- adalah di bawah kekuasaan, pengetahuan, dan
pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.

"Tidak sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia
mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam
kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau
kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam
jangkauan pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).

"Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi
Allah-lah (yang menganugerahkan kemampuan sehingga)
kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).

Sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk
tenunan kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan
jiwanya. Karena itu seringkali pada saat Al-Quran berbicara
tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek
tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek
atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling
berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun mempelajarinya akan
menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sama
dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan
bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi
atau aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai
dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui
di mana ujung pangkalnya.

Salah satu tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian,
adalah untuk mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin-
bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah satu kesatuan terpadu
yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

oleh ; qurqish shihab

Hubungan Hadis dan Al-Quran

Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama --seperti definisi Al-Sunnah-- sebagai "Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya." Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.

Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu --dalam kondisi tertentu-- walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.

Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang --menurut adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.

Fungsi Hadis terhadap Al-Quran

Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.

'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara'. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.

Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.

Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.

Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."

Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa al-hadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.

Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?

Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).

Pemahaman atas Makna Hadis

Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw. Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan oleh para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis masih dapat saja muncul. Apakah pemahaman makna sebuah hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadis.

Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya dengan pribadi Muhammad saw. Dalam hal ini, manusia teladan tersebut suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali lain sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau pemimpin satu masyarakat atau bahkan sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan manusiawi atau kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap hadis dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.

Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat, tentang perintah dan larangan pada masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan larangan syara'. Menurutnya, perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang secara kontekstual.

Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar Nabi saw. bersabda, "Ijlisu (duduklah kalian)," dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan. Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya, "Zadaka Allah tha'atan." Di sini, Ubay memahami hadis tersebut secara tekstual.

Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, "Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Sebagian memahami teks hadis tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu --kecuali di tempat itu. Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus terakhir ini, tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami teks hadis.

Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks hadis, tidak terkecuali dalam bidang muamalat. Dalam hal ini, Al-Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw., harus dipertahankan bunyi teksnya, walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teks-teksnya adalah ta'abbudiy, sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.

Kajian 'illat, dalam pandangan Al-Syafi'i, dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah al-hukm yaduru ma'a illatih wujud wa 'adam,115 hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas, bukan terhadap bunyi teks Al-Quran dan hadis. Itu sebabnya Al-Syafi'i berpendapat bahwa lafal yang mengesahkan hubungan dua jenis kelamin, hanya lafal nikah dan zawaj, karena bunyi hadis Nabi saw. menyatakan, "Istahlaltum furujahunna bi kalimat Allah (Kalian memperoleh kehalalan melakukan hubungan seksual dengan wanita-wanita karena menggunakan kalimat Allah)", sedangkan kalimat (lafal) yang digunakan oleh Allah dalam Al-Quran untuk keabsahan hubungan tersebut hanya lafal zawaj dan nikah.

Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak demikian. Bidang ini menurutnya adalah ma'qul al-ma'na, dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak dapat memastikan mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut diterima atas dasar qath'iy al-wurud. Dengan alasan terakhir ini, sikapnya terhadap teks-teks hadis menjadi longgar. Karena, seperti dikemukakan di atas, periwayatan lafalnya dengan makna dan penerimaannya bersifat zhanniy.

Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai, atau membenarkan keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli, adalah penjabaran dari pandangan di atas. Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran dam tamattu' dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena kedua hal tersebut bernilai ta'abudiy, yakni pada penyembelihannya.

Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat dikemukakan tentang hadis.


oleh Dr. M. Quraish Shihab

Berinteraksi dengan Al Qur'an

"Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya." ( Al Kahfi: 1-3)

Salawat serta salam bagi Nabi yang mu'jizatnya Al Qur'an, imamnya Al Qur'an, akhlaqnya Al Qur'an, dan penghias dadanya, cahaya hatinya juga penghilang kesedihannya adalah Al Qur'an: Nabi Muhammad bin Abdullah, dan keluarganya serta para sahabatnya, yang beriman dengannya, mendukung dan membantunya, serta mengikuti cahaya yang diturunkan kepadaanya, mereka adalah orang-orang yang beruntung, dan seluruh orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.


Amma ba'du:

Rabb kita telah memberikan kemuliaan kepada kita --sebagai kaum Muslimin-- dengan menganugerahkan kitab suci yang terbaik yang diturunkan kepada manusia. Rabb kita juga, telah memuliakan kita dengan mengutus nabi yang terbaik yang pernah diutus kepada manusia. Sesuai firman Allah SWT:

"Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?" (Al Anbiyaa: 10).

Kitalah, kaum muslimin, satu-satunya umat yang memeliki manuskrip langit yang paling autentik, yang mengandung firman-firman Allah SWT yang terakhir, yang diberikan untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia. Dan anugerah itu terus terpelihara dari perubahan dan pemalsuan kata maupun makna. Karena Allah SWT. telah menjamin untuk memeliharanya, dan tidak dibebankan tugas itu kepada siapapun dari sekalian makhluk-Nya:

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (Al Hijr: 9).

Al Qur'an adalah kitab Ilahi seratus persen: "(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu." (Huud: 1)

"Dan sesungguhnya Al Qur'an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji." ( Fush-shilat: 41-42)

Tidak ada di dunia ini, suatu kitab, baik itu kitab agama atau kitab biasa, yang terjaga dari perubahan dan pemalsuan, kecuali Al Qur'an. Tidak ada seorangpun yang dapat menambah atau mengurangi satu hurup-pun darinya.

Ayat-ayatnya dibaca, didengarkan, dihapal dan dijelaskan, sebagaimana bentuknya saat diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad Saw, dengan perantaraan ruh yang terpercaya (Jibril).

Al Quran berisikan seratus empat belas surah. Seluruhnya dimulai dengan basmalah (bismillahirrahmanirrahim). Kecuali satu surah saja, yaitu surah at Taubah. Ia tidak dimulai dengan basmalah. Dan tidak ada seorang pun yang berani untuk menambahkan basmalah ini pada surah at Taubah, baik dengan tulisan atau bacaan. Karena, dalam masalah Al Qur'an ini, tidak ada tempat bagi akal untuk campur tangan.

Perhatian kaum muslimin terhadap Al Quran sedemikian besarnya, hingga mereka juga menghitung ayat-ayatnya --bahkan kata-katanya, dan malah hurup-hurupnya--. Maka bagaimana mungkin seseorang dapat menambah atau mengurangi suatu kitab yang dihitung kata-kata dan hurup-hurupnya itu?!

Tidak ada di dunia ini suatu kitab yang dihapal oleh ribuan dan puluhan ribu orang, di dalam hati mereka, kecuali Al Qur'an ini, yang telah dimudahkan oleh Allah SWT untuk diingat dan dihapal. Maka tidak aneh jika kita menemukan banyak orang, baik itu lelaki maupun perempuan, yang menghapal Al Qur'an dalam mereka. Ia juga dihapal oleh anak-anak kecil kaum Muslimin, dan mereka tidak melewati satu hurup-pun dari Al Qur'an itu. Demikian juga dilakukan oleh banyak orang non Arab, namun mereka tidak melewati satu hurup-pun dari Al Qur'an itu. Dan salah seorang dari mereka, jika Anda tanya: "siapa namamu?" --dengan bahasa Arab-- niscaya ia tidak akan menjawab! (Karena tidak paham bahasa Arab!, penj.). Ia menghapal Kitab Suci Rabbnya semata untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, meskipun ia tidak memahami apa yang ia baca dan ia hapal, karena ia tertulis dengan bukan bahasanya.

Al Qur'an tidak semata dijaga makna-makna, kalimat-kalimat serta lafazh-lafazhnya saja, namun juga cara membaca dan makhraj hurup-hurupnya. Seperti kata mana yang harus madd (panjang), mana yang harus ghunnah (dengung), izhhar (jelas), idgham (digabungkan), ikhfa (disamarkan) dan iqlab (dibalik). Atau seperti yang digarap oleh suatu ilmu khusus yang dikenal dengan "ilmu tajwid Al Qur'an".

Hingga rasam (metode penulisan) Al Qur'an, masih tetap tertulis dan tercetak hingga saat ini, seperti tertulis pada era khalifah Utsman bin Affan r.a., meskipun metode dan kaidah penulisan telah berkembang jauh. Hingga saat ini, tidak ada suatu pemerintah muslim atau suatu organisasi ilmiah pun, yang berani merubah metode penulisan Al Qur'an itu, dan menerapkan kaidah-kaidah penulisan yang berlaku bagi seluruh buku, media cetak, koran dan lainnya yang ditulis dan dicetak, bagi Al Qur'an.

Allah SWT menurunkan Al Qur'an untuk memberikan kepada manusia tujuan yang paling mulia, dan jalan yang paling lurus.

"Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus." (Al Israa: 9)

"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." ( Al Maaidah: 15-16)

Al Qur'an adalah "cahaya" yang dianugerahkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, di samping cahaya fithrah dan akal:

"Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)." (An Nuur: 35). Dan Al Qur'an mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai cahaya, dalam banyak ayat.

Seperti dalam firman Allah SWT:

"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu'jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an)." (An Nisaa: 174)

"Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al Qur'an) yang telah Kami turunkan." (At Taghaabun: 8).

Dan berfirman kepada para sahabat Rasulullah Saw dengan firman-Nya:

"Dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an)." (Al A'raaf: 157)

Di antara karakteristik cahaya adalah: Dirinya sendiri telah jelas, kemudian ia memperjelas yang lain. Ia membuka hal-hal yang samar, menjelaskan hakikat-hakikat, membongkar kebatilan-kebatilan, menolak syubhat (kesamaran), menunjukkan jalan bagi orang-orang yang sedang kebingungan saat mereka gamang dalam menapaki jalan atau tidak memiliki petunjuk jalan, serta menambah jelas dan menambah petunjuk bagi orang yang telah mendapatkan petunjuk. Dan jika Al Qur'an mendeskripsikan dirinya sebagai "cahaya", dan dia adalah "cahaya yang istimewa", ia juga mendeskripsikan Taurat dengan kata yang lain:

"Di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)."

Seperti dalam firman Allah SWT:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)". (Al Maaidah: 44)

Demikian juga mendeskripsikan Injil seperti itu, seperti dalam firman Allah SWT tentang Nabi 'Isa:

"Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi) ." (Al Maidah: 46)

Perbedaan dalam dua pengungkapan itu menunjukkan perbedaan antara Al Qur'an dengan kitab-kitab suci lainnya. Seperti diungkapkan oleh Al Bushiry dalam Lamiah-nya:

"Maha Besar Allah, sesungguhnya agama Muhammad Dan kitab sucinya adalah kitab suci yang paling lurus dan paling teguh Jangan sebut kitab-kitab suci lainnya di depannya Karena, saat mentari pagi telah bersinar, ia akan memadamkan pelita-pelita".

Hal itu karena Al Qur'an ini datang untuk membenarkan kitab-kitab suci yang telah turun sebelumnya. Yaitu yang berkaitan dengan pokok-pokok aqidah dan akhlak, sebelum kitab-kitab itu dipalsukan dan diubah tangan manusia. Al Qur'an juga mengungguli kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dengan mengoreksi dan meluruskan tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan yang telah disisipkan oleh manusia dalam kitab-kitab itu. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:

"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu." (Al Maaidah: 48)

Al Qur'an --sebagaimana ia diturunkan oleh Allah SWT-- mempunyai keunggulan-keunggulan yang membuatnya istimewa dibanding kitab suci lainnya. Ia adalah kitab Ilahi, kitab suci yang menjadi mukjizat, kitab yang memberikan penjelasan dan dimudahkan untuk dipahami, kitab suci yang dijamin pemeliharaan keautentikannya, kitab suci bagi agama seluruhnya, kitab bagi seluruh zaman, dan kitab suci bagi seluruh manusia.

Al Qur'an juga mempunyai maksud dan tujuan yang dibidiknya, di antaranya: meluruskan kepercayaan-kepercayaan dan pola pandang manusia tentang Tuhan, kenabian, dan balasan atas amal perbuatan, serta meluruskan pola pandangan tentang manusia, kemuliaannya dan menjaga hak-haknya, terutama bagi kalangan yang lemah dan tidak berpunya.

Ia juga bertujuan untuk menghubungkan manusia dengan Rabbnya, agar manusia hanya menyembah-Nya semata dan bertaqwa kepada-Nya dalam seluruh urusannya.

Al Qur'an juga bertujuan untuk membersihakan jiwa manusia, yang jika jiwa itu telah bersih niscaya bersih dan baiklah seluruh masyarakat. Dan jika jiwa itu rusak, niscaya rusaklah masyarakat seluruhnya.

Ia juga berusaha membentuk keluarga yang kemudian menjadi pangkal kedirian suatu masyarakat. Juga mengajarkan sikap adil terhadap kalangan perempuan, yang merupakan pokok utama dalam bangunan keluarga.

Al Qur'an juga membangun umat yang saleh, yang dianugerahkan amanah untuk menjadi saksi bagi manusia, yang diciptakan untuk memberikan manfaat bagi manusia dan memberikan petunjuk bagi mereka.

Setelah itu, mengajak untuk menciptakan dunia manusia yang saling kenal mengenal dan tidak saling mengisolasi diri, saling memberi maaf dan tidak saling membenci secara fanatik, serta untuk bekerja sama dalam kebaikan dan ketaqwaan, bukan dalam kejahatan dan permusuhan.

Kita berkewajiban untuk memperlakukan Al Qur'an ini secara baik: dengan menghapal dan mengingatnya, membaca dan mendengarkannya, serta mentadabburi dan merenungkannya.

Kita juga berkewajiban untuk berlaku baik terhadapnya dengan memahami dan menafsirkannya. Tidak ada yang lebih baik dari usaha kita untuk mengetahui kehendak Allah SWT terhadap kita. Dan Allah SWT menurunkan kitab-Nya agar kita mentadabburinya, memahami rahasia-rahasianya, serta mengeksplorasi mutiara-mutiara terpendamnya. Dan setiap orang berusaha sesuai dengan kadar kemampuannya.

Namun yang disayangkan, dalam bidang ini telah terjadi kerancuan yang berbahaya, yaitu dalam memahami dan menafsirkan Al Qur'an. Oleh karena itu harus dibuat rambu-rambu dan petunjuk yang mampu menjaga dari kekeliruan dalam usaha ini, serta perlu diberikan peringatan tentang ranjau-ranjau yang menghadang di jalan, yang dapat berakibat patal jika dilanggar.

Tidak selayaknya umat Al Qur'an mengalami hal yang sama yang pernah terjadi dengan umat Taurat, yang diungkapkan oleh Al Qur'an dalam firman-Nya:

"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal." (Al Jumu'ah: 5).

Kita juga harus berlaku baik terhadap Al Qur'an dengan mengikuti petunjuknya, mengerjakan ajarannya, menghukum dengan syari'atnya serta mengajak manusia mengikuti petunjuknya. Ia adalah manhaj bagi kehidupan individu, undang-undang bagi aturan politik, serta petunjuk dalam berdakwah kepada Allah SWT.

Inilah yang berusaha dilakukan buku ini dalam empat bab utamanya, dengan bertumpu --terutama-- pada Al Qur'an itu sendiri, karena ia adalah objek kita, namun ia juga petunjuk itu.

Umat kita pada abad-abad pertama --yang merupakan abad-abad yang paling utama-- telah berinteraksi dengan baik terhadap Al Qur'an. Mereka berlaku baik dalam memahaminya, mengetahui tujuan-tujuannya, berlaku baik dalam mengimplementasikannya secara massive dalam kehidupan mereka, dalam bidang-bidang kehidupan yang beragam, serta berlaku baik pula dalam mendakwahkannya. Contoh terbaik hal itu adalah para sahabat. Kehidupan mereka telah diubah oleh Al Quran dengan amat drastis dan revolusioner. Al Qur'an telah merubah mereka dari perilaku-perilaku jahiliyah menuju kesucian Islam, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ke dalam cahaya. Kemudian mereka diikuti oleh murid-murid mereka dengan baik, untuk selanjutnya murid-murid generasi berikutnya mengikuti murid-murid para sahabat itu dengan baik pula. Melalui mereka itulah Allah SWT memberikan petunjuk kepada manusia, membebaskan negeri-negeri, memberikan kedudukan bagi mereka di atas bumi, sehingga mereka kemudian mendirikan negara yang adil dan baik, serta peradaban ilmu dan iman.

Kemudian datang generasi-generasi berikutnya, yang menjadikan Al Qur'an terlupakan, mereka menghapal hurup-hurupnya, namun tidak memperhatikan ajaran-ajarannya. Mereka tidak mampu berinteraksi secara benar dengannya, tidak memprioritaskan apa yang menjadi prioritas Al Qur'an, tidak menganggap besar apa yang dinilai besar oleh Al Qur'an serta tidak menganggap kecil apa yang dinilai kecil oleh Al Qur'an. Di antara merek ada yang beriman dengan sebagiannya, namun kafir dengan sebagiannya lagi, seperti yang dilakukan oleh Bani Israel sebelum mereka terhadap kitab suci mereka. Mereka tidak mampu berinteraksi secara baik dengan Al Qur'an, seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Meskipun mereka mengambil berkah dengan membawanya serta menghias dinding-dinding rumah mereka dengan ayat-ayat Al Qur'an, namun mereka lupa bahwa keberkahan itu terdapat dalam mengikut dan menjalankan hukum-hukumnya. Seperti difirmankan oleh Allah SWT:

"Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat." (Al An'aam: 155)

Tidak ada jalan untuk membangkitkan umat dari kelemahan, ketertinggalan dan keterpecah-belahan mereka selain dari kembali kepada Al Qur'an ini. Dengan menjadikannya sebagai panutan dan imam yang diikuti. Dan cukuplah Al Qur'an sebagai petunjuk:

"Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?." (An Nisaa: 122)

Dr. Yusuf al Qaradhawi

Kamis, 28 Januari 2010

jangan menunggu kiamat

Rasulallah saw. bersabda: ada 4 perkara, jika 4 perkara ini ada pada diri manusia,mk ia sungguh telah menjadi orang munafiq mutlaq; 1.apabila ngomong sk bohong, 2.apabila diamanati sk khianat, 3.apabila berjanji sk inkar, 4.apabila bermusuhan sk melampoi bts. (HR. Muslim)

3 pertanyaa di akhirat; (kenapa) kamu beribadah?, (karena siapa) kamu beribadah? dan (bagaimana caranya) kamu beribadah?. Jumhur ulama memberikan syarah, bahwa hadits ini adalah dalil bahwa Ibadah mahdhah tidak bisa dilakukan sekehendak qt, tp wajib ada dalil yang memerintahkannya, ikhlas karena Allah SWT dan sesuai dengan tuntunan Rasul.

perbuatan salah bisa ditutup2i dengan ucapan yang berbohong, namun di akhirat mulut akan dikunci sehingg anggota tubuhlah yang akan bersaksi. lihatlah tafsir QS. Yaasin: 65. "pada hari ini kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan berkata kepada kami dan kaki mereka akan memebri kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan".

Rasul bersabda: wahai para shahabat, tahukah kalian bagaimana bumi akan bicara (tentang prilaku manusia)? para shahabat menjawab: hanya Allah dan Rasul-Nya yg paling mengetahui. Rasul bersabda: bumi akan bicara (pd hari kiamat) "Ya Allah, sesungguhnya si pulan bin pulan telah berbuat sesuatu di tempat itu, pada hari it...u, pada waktu itu...." (Hr. At-Tirmidzi)

Rasulallah SAW bersabda: "barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemaren, maka ia sungguh telah beruntung. barang siapa yang hari ini sama (amalnya) dengan hari kemaren, maka ia telah tertipu dan rugi. dan barang siapa yg hari ini lebih jelek daripada kemaren, (maka ketahuilah) ia telah mendapatkan laknat dari Allah SWT". (HR. Hakim, Al-Mustadrak)

subhaanallah... seorang ilmuan terkemuka di Jerman yg bernama Al-Fread Weghineer telah masuk Islam hanya dengan membaca dan memahami isi QS. An-Naml: 88. ketika beliau meneliti tentang benua2 yg terus menerus bergerak, gunung2 yg terus mengembang. kini penelitiannya telah terungkap oleh Al-Qur'an Kariem. dikatakan; sek...ali beliau mengadakan ceramah, sedikitnya 100 org msuk Islam. Allohu Akbar

Al-Qur'an akan di baca oleh 3 golongan; 1. oleh orang mukmin, maka keimanannya akan bertambah 2. oleh orang munafik, ia membaca karena berhubungan dengan bisnis dan karena ingin mencari kesalahan orang, maka kemunafikannya akan bertambah 3. oleh orang kafir, ia bermaksud untuk menghancurkan Al-Qur'an, maka Allah SWT ak...an membinasakannya. "termasuk yg mn kah qt?

Allah SWT menurunkan 2 peringatan kepada manusia: 1. Diturunkannya Al-Qur'an (ketika Al-Qur'an diabaikan, dijadikan perantara bisnis, hukum-hukumnya tidak diamalkan, Al-Qur'an hanya sebatas pajangan dan tidak pernah d baca) maka Allah SWt akan menurunkan peringatan ke 2. yaitu QIYAMAT. (lihat shahih Muslim dalam kitab tafsir)

Allah dan Rasulnya melaknat terhadap orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan ro'yunya (akalnya). bagaimana pendapat ikhwan akhwat terhadap suatu golongan yg terang-terangan berani menafsirkan al-Qur'an dgn aqal dan berani menghapus sebagian hukum yg ada d al-qur'an dengan dalih tdk relevan dgn zaman,..?

حدثناقتيبة بن سعيد. حدثنا المغيرة (يعني الحزامي) عن أبي زناد، عن الأعرج، عنأبي هريرة؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم قال "لما خلق الله الخلق، كتب فيكتابه، فهو عنده فوق العرش: إن رحمتي تغلب غضبي ; intinya, Rahmat Allah itu mengalahkan terhadap kebencian-Nya. Raihlah rahmat Allah demi menghilangkan Murka-Nya pd qt.

Al-Maghdub=Yahudi,Adh-Dhaaliin=Nasrani.tafsir QS.Al-Fatihah:7. Imam Al-Maraghi mnjlskn;Karaktr Yahudi adlh berikmu,tau agama,tp enggan mlkuknnya.Nasrani adlh org yg bnyk bribdh dgn tnpa dalil/printah. Umat Islam akan jd 2 cbng;1-syibhul yahud (mnyrupai yahudi) 2.syibhu an-nashron (mnyrupai nasrani).mksudnya;1-org Islam... yg tau agama nmun mlnggar printah Allah, 2-org Islam yg banyak beribadah namun tidak ada perintah.

hari ini bertepatan dgn 'asyuro, shaum'y semua agama. Rasulallah SAW ingin berbeda dgn umat2 yg lain, sehingga beliau berkata "kelak ada umur, mk d tahun depan qt shaum dr tgl 9 Muharram" inilah yg d sebut dgn Sunnah Hammiyah. Rasul bersabda: Shaum tasu'a asyura (tgl 9-10 Muharram) akan diampuni dosa2nya 1thn k blkng".... smoga qt dlm keadaan shaum.

uLin nuha

JAGALAH MULUTMU

Rasulullah SAW bersabda: tiga golongan yg tidak akan diterima do'a-do'anya; memakan harta haram (zat/caranya), org yg suka membicarakan kejelekan orng lain (pelaku ghibah), dan orang yg bersifat hasud. ( Hr. Muttafaq 'alaih/Bukhari-Muslim )

salah satu tanda kiyamat adalah: apabila suatu wilayah atau Negara sudah dipimpin oleh wanita dan laki-laki yg bodoh... (Hr. Al-Bukhari, Ahmad, Nasa'i) jika hal td sudah terjadi, fa adhallu wa adhallu..... (maka kehidupan wilayah atau negara itu akan saling sesat menyesatkan...)

"(lembah wail) hanya bagi orang yang berprilaku HUMAZAH dan LUMAZAH. Humazah adalah; perkataan kotor, seperti ghibah, mencela, fitnah, mengadu domba (namimah) dsb. Lumazah adalah; perbuatan yg di larang oleh agama, seperti; dzolim, membunuh tanpa haq, curang (tdk adil) dsb. Allah SWT menetapkan dalam firman-Nya, bahw...a tmpat bg prilaku tersebut hanyalah Jahannam. Na'udzubillah tsumma nau'dzubillah...

"QS.Al-Humazah:1" Ibnu Abbas memberikan penafsiran, bawha "wail" adalah suatu lembah yg berada di Jahannam, yg disediakan Allah sebagai tempat minum penghuni Neraka.ketika org bermaksud meminumnya, mk sebelum air itu mengenai lidahnya, mk seluruh isi... dalam perut manusia akan keluar, dan penduduk neraka akan menjerit... kesakitan dankepanasan.. (lihat Tafsir QS. Al-Humazah:1 tanwirul Miqbas)

dan barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikannya jalan keluar (solusi bagi setiap permasalahan manusia)... yakinlah, seberat apapun ujian qt, permasalahan qt, tetap bersabar sebab Allah telah menantikan kebahagiaan bg org yg shabar.

Jawaban: "lihatlah tafsir QS.As-Asyams: 8-10" maknanya: smua akibat trgntung perbuatan kita. Ibnu Hajar:(fathul baary) mnjlskn dlm sabda Rasul. bahwa yg di maksud Allah menentukan; jodoh,umur,harta dan surga-neraka bagi manusia, maksudnya ketentuan yg tidak bs lps dr mnusia, adapun siapa jodoh,harta,umur dan surga-nera...kanya itu hakikatnya kita yg menentukan (sabab-musabab) lihat pula tafsir tntang ikhtiyar-kasab

Rasulallah SAW bersabda: miskin adalah org yg hanya bs makan d pagi hari dan tdk ada untuk sore harinya."

-Ibnu Abbas dalam tnwirul miqbas berkata, hakikat kemajuan kita kan sebuah rizki (harta), kesehatan, kecerdasan dan pasangan adalah tergantung usaha dan ikhtiyar kita. mk apapun hasilnya dengan usaha kita, itulah takdir qt.

-pekerjaan keras tdk menjamin akan menghasilkan perkara banyak. (lihat Mario Teguh dlm buunya (usaha keras)... Lihat Selengkapnya

- Rasul bersabda: tanda kiyamat itu apabila semua org telah menjadi kaya, sehingga akan ada seseorang yg mengimpakkan dengan emas dengan peti besar, dia berkeliling desa namun tdk ada yg menerimanya disebabkan manusia telah kaya raya"

lihat bagaimana penyarah memberikan penjelasan hadits ini, bahwa pada saat itu manusia akan berusaha danmempokuskan untuk merubah hidupnya agar lebih kaya, dan mereka kaya. tulah tanda kiyamat.

hadits td menjadi dalil bahwa hakikat takdir itu bagaimana usaha kita, apa yg kita dapat, itulah takdir qt (fathul Baari 'syarah al-Bukhary' Bab qodo-qodar)

Rosul bersabda: "Semua umatku akan masuk surgha.... Al-Hadits (Hr.Bukhari), Allah menjelaskan ada 3 proses masuk surgha; 1. golongan (sabiq bil khairot) masuk surgha tanpa di hisab, 2.golongan (muqtashid) masuk surgha setelah dihisab, namun mendapatkan hisaban yg ringan, 3.golongan (dzolim linafsih) masuk surgha setela...h di azab terlebih dahulu.. lihat Tafsir Ibnu Katsir

Sufyan At-Saury berkata: setiap kemaksiatan yg timbul dr dorongan nafsu msh bs diharapkan ampunannya, namun kemaksiatan yg timbul dr dorongan kesombongan tidak bs diharapkan ampunannya. Rasul SAW bersabda "Tidak akan masuk surgha bagi org yg ada dalam hatinya sifat kesombongan, walaupun sebesar debu (HR. Bukhari)

ghibah adalah membicarakan kejelekan orang lain, Allah telah menetapkan siksaan bagi orang yg meng-ghibah dengan siksaan; memakan bangkai yang bau busuk. kemudian Rasulallah SAW pun brsabda, "bahwa org yg senang mendengar kejelekan org lain (membuka aib org lain) mk telinganya akan di guyuri al-anuk, (al-anuk adalah cairan timah dari jahannam)...."

makna birrun; kebaikan yg bersifat terus-menerus, tidak boleh berhenti (mk dgn hal itu Al-Qur'an mengungkapkan dgn kalimat "birrul waalidaen" = berbuat baik pd org tua) ini adalah tuntutan bahwa berbuat kebaikan pd orang tua hrus selamanya......

salah satu ilmu yg harus dikuasai dalam menafsirkan Al-Qur'an adalah 'Ilmu Ma'ani. dalam 'Ilmu ini akan membahas tentang berbagai makna al-qur'an. mengapa ada kalimat yg sama dlm Al-Qur'an, mengapa ada murodif, musytarok, tibaq dsb. contoh: birrun, hasan,ma'ruf,khair, semuanya berati "baik", tp maknanya berbeda. (lihat... Arroghib al-Asyfahani)

Imam Al-Qurthubi brkta dlm tafsirnya.bhwa hrm ada 2;1.zaati,2.'irdhi; hrm zaati adlh sesuatu yang diharamkan berupa zatnya,sprti;babi,bangkai darat,darah segar.sdngkn hrm 'irdhi adlh hrm dr sgi cara/jalannya,sprti;barang hasil curian,menipu dsb.Imam Syafi'i brkta,"mkanan yg disndrkn pd pryaan2 ibh, adhl pryaan itu jls2... tdk ada printh dan cntohnya dr Rasul, mk makanan itu tergolong haram 'irdhi.(lihat al-Umm)

Rasulullaoh SAW bersabda: 3 golongan yang do'anya tidak akan diterima; 1. orang yang gemar memakan barang haram, 2. orang yang gemar berghibah (suka membicarakan kejelekan orang lain), dan 3. orang yang di dalam hatinya ada rasa dengki/hasud. (HR. Bukhari)

uLin nuha

muqoddimah

kalimat "iyyaka" dengan memakai syiddah pada huruf "ya" berarti "hanya pada-Mu". namun jika tanpa syiddah "IYAKA" itu berarti "cahaya matahari". konsentrasilah dalam setiap bacaan al-qur'an. bacala "IYYAKA" dengan memakai syiddah. (Tafsir Ibn Katsir)

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Seorang Muslim adalah saudaranya orang Muslim yang lain. Janganlah ia berkhianat kepada saudaranya itu dan jangan pula mendustainya, juga jangan menghinakannya - juga enggan memberikan pertolongan padanya bila diperlukan.......

Setiap Muslim terhadap Muslim lainnya itu adalah haram kehormatannya - tidak boleh dinodai, haram hartanya - tidak boleh dirampas - dan haram darahnya - tidak boleh dibunuh tanpa dasar kebenaran. Ketaqwaan itu di sini - dalam hati. Cukuplah seseorang itu menjadi orang jelek, jikalau ia menghinakan saudaranya yang sama Muslimnya." (Hr. Tirmidzi)

IHDINAA : Fiil Amr (Du’a) mabni atas hadzfu harfi ‘illah (huruf ‘illah yang dibuang) diakhirnya, yaitu huruf; “ya”. Buktinya adalah tanda kasrah. Dan fail (subjek)nya adalah dhamir yag tersembunyi, takdirnya: “anta (kamu)”. Dan dhamir “NAA “ (kami); adalah dhamir yang bersambung dengan fiilnya, mabni sukun berkedud...ukan menjadi maf’ul bih. (objek). Maknanya: “tunjukilah kami oleh-Mu”

ASH-SHIRAATHO : maf’ul bih kedua yang mansub, tanda nasabnya adalah fathah yang nampak jelas. Ada yang mengatakan; mansub binaz’il khofdhi. Takdirnya: “Tunjukilah kami oleh-Mu kepada jalan.” AL-MUSTAQIIMA : sifat dari “Ash-Shirat” mansub. Tanda nasabnya adalah fathah yang nampak jelas di akhirnya.

Allah Yang Maha Suci telah menjelaskan makna “siratal mustaqim” itu dengan menyebutkan hanya agama Islamlah yang paling benar. Selain Islam, agama apapun akan di tolak. Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-...

terjadinya hari kiyamat adalah ghaib. barang siapa yg sok tahu tntang ghaib, mk batal keimanannya. tidak ada 1 ayatpun yang menjelaskan tentang kapan terjadinya kiyamat, hanyasaja Allah swt memberikan tanda-tandanya; 1) Al-Qur'an hanya sebagai pajangan, 2) diminumnya khomer, 3) banyaknya perjinaan, 4) apabila musik tel...ah lebih disenangi drpd Al-Qur'an.

Pada (awal) pintu jalan itu terdapat seruan, dengan seruan: wahai manusia, masuklah kalian semuanya kedalam pintu ini dan janganlah kalian berpaling (belok). Dan (terdapat seruan pula) di atas jalan ketika manusia hendak membuka tabir yang menutupi pinti-pintu itu, dengan seruan: celaka kamu!! Janganlah kau buka (tabir... yang menutup pintu-pintu itu), jika kau buka, maka kamu akan celaka...

Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik. Sebagaimana Imam Al-Maraghi berkata: bahwa hidayah Allah kepada manusia terdapat bermacam-macam bentuk:.......

Jin adalah makhluq Allah SWT, Iblis adalah keturunan Jin yg Kafir, sedangkan Syetan adalah sifat kekufuran yang terdapat pada diri Jin dan Manusia. ta'awudzlah selalu agar d jauhi dari gangguan Syetan yg terkutuk

Al-Qur'an memiliki 2 sistem; muhkam dan mutasyabbih. hakikat Allah SWT memberikan sistem ini supaya Al-Qur'an tetap murni hanya bisa dipahami oleh orang yg ikhlas dan bnr2 beriman. mk saat org munafik membaca al-Qur'an, mk bukan keimanan yg bertambah, melainkan kemaunafikannya akan bertambah. bacalah al_qur'an dengan h...ati yg bersih dan suci, kelak Al-Qur'an akan menjadi obat bg hti kalian.

hari ini bertepatan dgn 'asyuro, shaum'y semua agama. Rasulallah SAW ingin berbeda dgn umat2 yg lain, sehingga beliau berkata "kelak ada umur, mk d tahun depan qt shaum dr tgl 9 Muharram" inilah yg d sebut dgn Sunnah Hammiyah. Rasul bersabda: Shaum tasu'a asyura (tgl 9-10 Muharram) akan diampuni dosa2nya 1thn k blkng".... smoga qt dlm keadaan shaum.

Al-Maghdub=Yahudi,Adh-Dhaaliin=Nasrani.tafsir QS.Al-Fatihah:7. Imam Al-Maraghi mnjlskn;Karaktr Yahudi adlh berikmu,tau agama,tp enggan mlkuknnya.Nasrani adlh org yg bnyk bribdh dgn tnpa dalil/printah. Umat Islam akan jd 2 cbng;1-syibhul yahud (mnyrupai yahudi) 2.syibhu an-nashron (mnyrupai nasrani).mksudnya;1-org Islam... yg tau agama nmun mlnggar printah Allah, 2-org Islam yg banyak beribadah namun tidak ada perintah.

uLin nuha